Translate

Rabu, 27 Agustus 2014

Sate Nangka

Sate Nangka
Oleh : Yusniar

   Nano dan Adi bermain ke rumah Nek Haris. Mereka memang suka ke sana sambil menemani Nek Haris yang hanya tinggal sendirian. Ketika sampai di situ, Nano melihat ada buah nangka yang masak.
“Nangkanya tidak dijual saja, Nek?” Tanya Nano pada Nek Haris.
“Nenek menunggu Bah A Hong. Dia biasanya dating ke sini dan membayar seribu rupiah setiap buahnya!” jawab  Nenek.
“Buah sebesar itu Cuma seharga seribu, Nek?!” Adi membelalakkan mata.
“Harga di pasar mungkin bisa lebih, Di! Tetapi nenek sudah tidak kuat menurunkan buah itu dan membawanya ke pasar. Masih ada orang yang mau datang membeli disini saja sudah untung!” kata Nenek lagi. Nadanya pasrah dan menerima apa adanya saja.
“Hm… Kalau boleh, kami akan menjualnya,Nek! Pokoknya, paling sedikit nenek dapat tiga ribu rupiah. Boleh, Nek?” Tanya Adi.
Nek Haris tampak menimbang – nimbang, “Boleh saja. Asal nanti kalian tidak dimarahi orang tua kalian. Nenek juga khawatir kalau mereka marah pada nenek. Karena menyangka nenek menyuruh anak orang berjualan!” sahut Nek Haris sambil menatap kedua bersahabat itu.
“Beres, Nek! Ini kan, pekerjaan halal. Tak mungkin orang tua kami marah!” kata Adi penuh semangat.
   Adi dan Nano lalu membawa buah nangka tersebut dengan karung goni ke rumah Nano.
“Kamu macam – macam saja, Di!” Dimana kita akan menjual nangka ini dengan harga tiga tibu atau lebih?” Nano berkata
“Tenang, No! Aku ada akal. Kita buat sate nangka. Musim kemarau belum habis. Pasti akan habis tandas bila kita jual di pasar atau terminal!”
   Adi dan Nano lalu membelah buah nangka itu. Isinya disayat, lalu bijinya dikeluarkan. Nano menyiapkan batang – batang lidi. Buah nangka yang bijinya sudah dikeluarkan, ditusuk dengan lidi. Satu batang lidi berisi empat atau lima buah nangka.
   Satu jam kemudian, Nano dan Adi sudah menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate nagka ditutup plastic bening. Mereka berjalan menuju terminal bis dan angkot yang menghubungkan kampong mereka dengan kota.
   Sekejap  saja, sopir – sopir dan kernet mengerumuni dagangan Adi dan Nano itu. Setusuk dijual dua ratus rupiah. Nangka Nek Haris ini memang manis dan lezat. Di terminal itu saja, dalam waktu singkat, sudah habis tiga puluh tusuk.
“Enam ribu sudah ditangan. Kita bawa pulang saja nangka ini!” ajak Adi.
   Mata Nek Haris berkaca – kaca menyambut kedua anak itu.
“Nek ini hasilnya!” Nano menyerahkan hasil dagangan mereka kepada Nek Haris.
“Wah, wah, banyak betul, Adi, Nano!” ucap Nek Haris lirih. “Nenek akan mengambil empat ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian berdua. Nangka yang sisa ini untuk adik – adik kalian!” lanjut Nek Haris lagi.
   Adi dan Nano saling menatap. “Engg… Kami tidak terlalu memerlukan uang, Nek. Nenek pasti lebih perlu. Kami membawa nagka yang tersisa ini saja!” Nano berkata tergagap. Nenek Haris menggeleng.
“Tidak. Empat ribu rupiah sudah lebih dari cukup. Ingat, biasanya nenek cuma dapat seribu rupiah. Kalian memang hebat. Banyak akalnya. Nah, sepantasnya kalian mendapat juga hasil dari penggunaan akal kalian ini!” Nenek terus memaksa mereka.
“Baiklah, Nek! Terima kasih banyak kalau begitu!” ujar Adi akhirnya. Ia tak mau mengecewakan nenek berniat baik ini.
“Nanti kalau ada yang matang lagi, boleh kalian jual!” pesan Nek Haris ketika Adi dan Nano hendak pulang.
   Dalam perjalanan pulang Nano berkata, “Tabungan kita tambah lagi, Di! Ditambah lagi dengan sate nangka yang manis – manis dan lezat ini!”

“Berbuat kebajikan, memang selalu ada buahnya, No!” tukas Adi.

Bagikan

Jangan lewatkan

Sate Nangka
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Apa Pendapatmu tentang cerita itu? Gunakan juga: