Sate
Nangka
Oleh : Yusniar
Nano dan Adi bermain ke rumah Nek Haris.
Mereka memang suka ke sana sambil menemani Nek Haris yang hanya tinggal
sendirian. Ketika sampai di situ, Nano melihat ada buah nangka yang masak.
“Nangkanya
tidak dijual saja, Nek?” Tanya Nano pada Nek Haris.
“Nenek
menunggu Bah A Hong. Dia biasanya dating ke sini dan membayar seribu rupiah setiap
buahnya!” jawab Nenek.
“Buah
sebesar itu Cuma seharga seribu, Nek?!” Adi membelalakkan mata.
“Harga
di pasar mungkin bisa lebih, Di! Tetapi nenek sudah tidak kuat menurunkan buah
itu dan membawanya ke pasar. Masih ada orang yang mau datang membeli disini
saja sudah untung!” kata Nenek lagi. Nadanya pasrah dan menerima apa adanya
saja.
“Hm…
Kalau boleh, kami akan menjualnya,Nek! Pokoknya, paling sedikit nenek dapat
tiga ribu rupiah. Boleh, Nek?” Tanya Adi.
Nek
Haris tampak menimbang – nimbang, “Boleh saja. Asal nanti kalian tidak dimarahi
orang tua kalian. Nenek juga khawatir kalau mereka marah pada nenek. Karena
menyangka nenek menyuruh anak orang berjualan!” sahut Nek Haris sambil menatap
kedua bersahabat itu.
“Beres,
Nek! Ini kan, pekerjaan halal. Tak mungkin orang tua kami marah!” kata Adi
penuh semangat.
Adi dan Nano lalu membawa buah nangka
tersebut dengan karung goni ke rumah Nano.
“Kamu
macam – macam saja, Di!” Dimana kita akan menjual nangka ini dengan harga tiga
tibu atau lebih?” Nano berkata
“Tenang,
No! Aku ada akal. Kita buat sate nangka. Musim kemarau belum habis. Pasti akan
habis tandas bila kita jual di pasar atau terminal!”
Adi dan Nano lalu membelah buah nangka itu.
Isinya disayat, lalu bijinya dikeluarkan. Nano menyiapkan batang – batang lidi.
Buah nangka yang bijinya sudah dikeluarkan, ditusuk dengan lidi. Satu batang
lidi berisi empat atau lima buah nangka.
Satu jam kemudian, Nano dan Adi sudah
menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate nagka ditutup plastic bening. Mereka
berjalan menuju terminal bis dan angkot yang menghubungkan kampong mereka
dengan kota.
Sekejap
saja, sopir – sopir dan kernet mengerumuni dagangan Adi dan Nano itu.
Setusuk dijual dua ratus rupiah. Nangka Nek Haris ini memang manis dan lezat.
Di terminal itu saja, dalam waktu singkat, sudah habis tiga puluh tusuk.
“Enam
ribu sudah ditangan. Kita bawa pulang saja nangka ini!” ajak Adi.
Mata Nek Haris berkaca – kaca menyambut
kedua anak itu.
“Nek
ini hasilnya!” Nano menyerahkan hasil dagangan mereka kepada Nek Haris.
“Wah,
wah, banyak betul, Adi, Nano!” ucap Nek Haris lirih. “Nenek akan mengambil empat
ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian berdua. Nangka yang sisa ini untuk adik –
adik kalian!” lanjut Nek Haris lagi.
Adi dan Nano saling menatap. “Engg… Kami
tidak terlalu memerlukan uang, Nek. Nenek pasti lebih perlu. Kami membawa nagka
yang tersisa ini saja!” Nano berkata tergagap. Nenek Haris menggeleng.
“Tidak.
Empat ribu rupiah sudah lebih dari cukup. Ingat, biasanya nenek cuma dapat
seribu rupiah. Kalian memang hebat. Banyak akalnya. Nah, sepantasnya kalian
mendapat juga hasil dari penggunaan akal kalian ini!” Nenek terus memaksa
mereka.
“Baiklah,
Nek! Terima kasih banyak kalau begitu!” ujar Adi akhirnya. Ia tak mau
mengecewakan nenek berniat baik ini.
“Nanti
kalau ada yang matang lagi, boleh kalian jual!” pesan Nek Haris ketika Adi dan
Nano hendak pulang.
Dalam perjalanan pulang Nano berkata, “Tabungan
kita tambah lagi, Di! Ditambah lagi dengan sate nangka yang manis – manis dan
lezat ini!”
“Berbuat
kebajikan, memang selalu ada buahnya, No!” tukas Adi.
Bagikan
Sate Nangka
4/
5
Oleh
Muhammad Hafid Ali